Jumat, 05 November 2010

Sejarah Subang


Versi Asal-Usul Nama Subang

Asal-usul nama Subang hingga saat ini mempunyai bermacam-macam presepsi sampai saat ini belum ada keterangan resmi tentang asal-muasal penamaan Kota Subang. Dari cerita rakyat berdasarkan histografi tradisional. Subang berasal dari nama seorang wanita, yang termuat dalam Badad Siliwangi yaitu Subanglarang atau Subangkarancang. Dikuatkan oleh cerita Badad Pajajaran yang mengisahkan bahwa di daerah Karawang ada sebuah pesantren yang dipimpin oleh Syeh Datuk Quro. Wanita tersebut bernama Subanglarang atau Subangkarancang yang merupakan putri dari Ki Jamajan Jati. Pada waktu itu Subanglarang sedang belajar di pesantren Syeh Datuk Quro, hingga kelak dinikahi oleh Raden Pamanahrasa yang bergelar Prabu Siliwangi sebagai Raja Pajajaran, dan mempunyai dua orang anak yaitu Raden Walangsungsang Raja dan Ratu Rarasantang.

Ada pula versi lain bahwa kata Subang berasal dari nama suatu tempat di daerah Kuningan. Ketika perusahaan P & T Land waktu itu dipimpin oleh PW.Hofland, memerlukan karyawan yang banyak, sehingga harus mendatangkan tenaga kerja dari luar. Diantaranya didatangkan dari daerah Subang Kuningan Penduduk Subang pada waktu itu belum banyak seperti sekarang. Para pendatang tersebut kemudian membuat perkampungan di sekitar pabrik yang disebutnya Babakan atau Kampung Subang, sesuai asal tempat tinggal mereka.

Catatan Penting yang terjadi di Subang

Dalam perjalanannya, berbagai peristiwa di Subang banyak yang terjadi dan menjadi catatan penting baik skala nasional maupun internasional. Catatan sejarah tersebut diantaranya ialah:

Masa Kolonialisme

Pasca runtuhnya Kerajaan Pajajaran, wilayah Subang menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram dengan VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang.

Tahun 1771, saat di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811 - 1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda.

Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, Pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.

Perlawanan kepada penjajahan melalui jalur politik pun dilakukan oleh rakyat Subang, Diantaranya cabang Syarikat Islam (SI) di Pringkasap (Pabuaran) dan Sukamandi (Ciasem) tidak lama setelah deklarasi SI di Bandung. Lalu pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra (karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengemukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat, yaitu menuntut suatu Indonesia berparlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, menghadapi bahaya fasisme, berdirinya “Indonesia Raya”, penerapan Bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia dan peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.

Masa Pendudukan Jepang

Pada saat Tentara Angkatan Laut Jepang merapat di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942, kemudian berlanjut direbutnya Pangkalan Udara Kalijati oleh Jepang. Peristiwa ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarah Pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi kapitulasi (penyerahan) dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan Jepang.

Kejadian ini kemudian dimanfaatkan oleh para pejuang melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah untuk membebaskan dari penjajahan. Dalam perlawanannya Sukandi (guru Landschbouw), R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara Jepang.

5 April 1948 sebagai Hari Jadi Subang

Dalam rangka memperjelas perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan, pada 5 April 1948 di Cimanggu, Desa Cimenteng berlangsung rapat dibawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan : 1.Wakil Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya Purwakarta. 2.Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan bupati pertamanya Danta Gandawikarma. 3.Wilayah Karawang Barat menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei. Wilayah Kabupaten Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta dengan ibukotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten Karawang Timur.

Momentum tanggal 5 April 1948 dijadikan acuan kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan DPRD No. : 01/SK/DPRD/1977.